Pemerintah kolonial Hindia Belanda membangun Kota Payakumbuh, terutama pusat kotanya, sebagai depot penyimpanan hasil tanam kopi. Seiring waktu, Kota Payakumbuh berkembang pesat dan secara bertahap menjadi pusat pemerintahan, perdagangan, dan pendidikan bagi Luhak Limo Puluah sejak zaman kolonial hingga kemerdekaan. Dengan perkembangan ini, kota ini memainkan peran penting dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat setempat dan menjadi titik strategis bagi kegiatan ekonomi dan sosial. Selanjutnya, perkembangan kota ini terus berlanjut dan semakin memperkuat posisinya sebagai pusat kegiatan masyarakat. Dengan demikian, kota ini memainkan peran penting dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat setempat.

Seiring waktu, kawasan ini berkembang menjadi daerah administrasi distrik pemerintahan kolonial yang terstruktur dan efektif. Pada tahun 1840, Belanda membangun Jembatan Ratapan Ibu untuk menghubungkan kawasan tersebut dengan pusat kota, sehingga memfasilitasi mobilitas dan kegiatan ekonomi masyarakat. Pembangunan infrastruktur ini berdampak signifikan pada perkembangan kota.

Kemudian, pemerintah menetapkan status Kota Payakumbuh sebagai kota kecil lewat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1956. Mendagri kemudian meresmikan kota ini sebagai daerah otonom pada 17 Desember 1970, menandai babak baru dalam sejarah pemerintahan kota. Pemerintah membagi kota ini menjadi 3 kecamatan awalnya dengan 73 kelurahan, lalu memperluasnya menjadi 5 kecamatan pada 2008, sebagai upaya untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemerintahan.

Selanjutnya, pemerintah kemudian melakukan penataan administratif dengan menggabungkan beberapa kelurahan pada 2014 dan 2016. Akibatnya, jumlah kelurahan berkurang dan menjadi 48. Dengan perubahan ini, struktur pemerintahan lokal menjadi lebih efisien dan efektif dalam mengelola wilayahnya, sehingga meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat. Dengan demikian, kota ini terus berkembang dan meningkatkan kemampuan pemerintahannya untuk mendukung kegiatan masyarakat.

DESTINASI WISATA KOTA PAYAKUMBUH

• Bukik Bulek Taram
• Ngalau Seribu
• Panorama Ampangan
• Lembah Harau
• Rumah Tan Malaka
• Jembatan Ratapan Ibu
• Puncak Lontiak
• Batang Tabik Waterpark
• Kampung Eropa Lembah Harau
• Kampung Korea dan Jepang di Lembah Harau
• Padang Mangateh
• Bukit Batu Manda
• Air Terjun Lubuak Bulan
• Goa Ngalau Indah
  

Kota Solok dahulunya merupakan satu wilayah nagari di Kabupaten Solok, yaitu Nagari Solok. Pemerintah daerah telah merintis harapan untuk menjadi kotamadya sejak tahun 1946 dan mendapatkan sambutan positif dari pemerintah pusat. Dalam rangka mewujudkan Nagari Solok menjadi kotamadya, pemerintah membentuk Panitia Sepuluh pada 6 Januari 1968 sebagai panitia persiapan peresmian. Akhirnya, Menteri Dalam Negeri Amir Mahmud meresmikan Kota Solok pada 16 Desember 1970.

Kota Solok mendapatkan julukan sebagai Kota Beras karena kualitas berasnya yang unggul, dikenal sebagai Barah Solok atau Beras Solok. Pemerintah pusat telah mengakui keunggulan ini dengan memberikan sertifikat Indikasi Geografis untuk Beras Solok.
Selain itu, Kota Solok memiliki berbagai kuliner khas seperti pepes bilih Singkarak, gulai ayam hitam, pangek Sasau, Ampiang Dadiah, dan masih banyak lagi.

Tak hanya itu, Kota Solok pun masih mempertahankan tradisinya hingga sampai saat ini, yakni budaya turun mandi bayi. Masyarakat setempat membawa bayi yang baru lahir ke sungai terdekat untuk dimandikan, lalu mengadakan acara makan bersama di rumah orangtua si bayi.